“Menimbang
Pemakzulan Bupati Indragiri Hulu”
Oleh : Setiawan, S.Si
Melihat gejolak yang ditimbulkan
dari isu dugaan kasus amoral/asusila yang dilakukan oleh Bupati Indragiri Hulu
H. Yopi Arianto (Yopi) beberapa hari ini maka perlu hendaknya kita mengkaji
lebih dalam dan mencari referensi tentang bisa atau tidak bisa nya pemakzulan
dilakukan terhadap Bupati Indragiri Hulu jika memang dikemudian hari isu amoral
tersebut terbukti kebenarannya.
Jika kita tilik terhadap beberapa
kasus pemakzulan yang telah terjadi beberapa waktu lalu ada beberapa hal yang
menarik untuk kita bahas ulang karena sangat erat kaitannya dengan apa yang
sedang menimpa kepada Bupati Indragiri Hulu. Misalnya saja Bupati Garut Aceng
Fikri terbukti secara sah melakukan pernikahan siri dengan istri keduanya.
Aceng Fikri dimakzulkan setelah
melakukan pernikahan dibawah tangan (sirri) yang kemudian hari istri sirri
tersebut diceraikannya melalui pesan singkat sort message service (sms).
Aceng Fikri dinilai tidak menjalankan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Selurus-lurusnya. Aceng Fikri dinilai melanggar sumpah jabatan sebagai kepala
daerah karena melanggar etika dan peraturan perundang-undangan. Karenanya,
pemakzulan Bupati Garut Aceng Fikri dinilai sah secara hukum.
Demikian halnya dengan kasus yang
terjadi pada Bupati Indragiri Hulu H. Yopi Arianto, Bupati Indragiri Hulu H. Yopi
Arianto diduga melakukan perbuatan perzinahan bersama RA, kasus ini memiliki
konsekuensi hukum yang lebih berat jika dibandingkan dengan apa yang telah
dilakukan Aceng Fikri, jika Aceng Fikri melakukan hubungan pernikahan sirri
yang tidak melanggar norma-norma dan hukum agama, maka tidak demikian halnya
dengan yang dilakukan Yopi Arianto. Jika terbukti benar, maka Yopi Arianto
tidak hanya melanggar sumpah jabatannya sebagai seorang Bupati, tetapi lebih
jauh Yopi Arianto juga melanggar norma-norma dan hukum agama Islam karena
melakukan tindakan perzinahan dan perselingkuhan tanpa dilakukan ikatan
perkawinan menurut Undang Undang.
Pasal 110 ayat (2) UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa sumpah/janji kepala
daerah dan wakil kepala daerah adalah sebagai berikut:
“Demi
Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai
kepala daerah/ wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”
Rumusan diatas dapat dipahami bahwa
setiap Kepala Daerah yang telah dilantik memiliki konsekuensi dalam setiap
tindakannya wajib dan harus sesuai dengan Undang-Undang tanpa terkecuali.
Pemenuhan kewajiban tersebut tidak dapat dipisahkan antara perannya sebagai
Kepala Daerah dan sebagai individu pribadinya. Dengan demikian, maka setiap
tindakan pemenuhan kebutuhan biologis Yopi Arianto harus dilakukan dengan
cara-cara yang sah dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang yaitu dengan
cara pernikahan yang sah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Jika tidak,
maka ia dapat dinilai melanggar sumpah jabatan. Apalagi jika kita lihat
dibeberapa media yang memberitakan Yopi Arianto melakukan hubungan biologis
dengan RA pada saat masih memiliki hubungan perkawinan yang sah dengan istrinya
Iptu Refina.
Pertanyaan yang muncul sekarang
adalah apa ukuran pemenuhan kewajiban yang dikategorikan sebagai sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya sesuai dengan Undang-Undang? Memang ukuran baik dan adil itu
adalah sangat relatif, artinya mungkin Yopi Arianto bisa saja menilai
perbuatannya sendiri baik dan adil, tetapi bagaimana jika ditilik dari rasa
keadilan istrinya Iptu Refina. Oleh karena itu, ukuran yang harus dipakai untuk
seorang pemimpin adalah pihak ketiga, yaitu rasa keadilan masyarakat yang
dipimpinnya, khususnya masyarakat Kabupaten Indragiri Hulu. Rasa keadilan
masyarakat itulah yang seharusnya digunakan sebagai syarat bagi setiap putusan
hakim, mulai dari hakim Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung nantinya.
Poin kedua dari bunyi sumpah/janji
jabatan Kepala Daerah tersebut di atas adalah “menjalankan segala undang-undang
dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”. Dalam kaitannya dengan kasus Yopi
Arianto tersebut, undang-undang yang dimaksud antara lain adalah UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa
perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tindakan Yopi Arianto melakukan hubungan biologis dengan RA selain dilarang
menurut hukum agama Islam, juga melanggar Undang-Undang.
Dengan demikian, maka pemakzulan
terhadap Bupati Indragiri Hulu Yopi Arianto adalah hal yang memiliki dasar
hukum yang sangat kuat dan meyakinkan. Cukup beralasan jika Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Indragiri Hulu memiliki niat untuk membuktikan kebeneran dari
isu dugaan kasus amoral/asusila dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk
selanjutnya dilakukan pemakzulan jika memang hasil investigasi Pansus tersebut terbukti
bahwa Yopi Arianto selaku Bupati Indragiri Hulu melakukan perbuatan
amoral/asusila. Wallahua’lam Bissawab.
*Penulis adalah Fungsionaris DPD KNPI INHU dan
Mantan Aktifis HMI Cabang Pekanbaru)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar