Selasa, 11 Maret 2014

Manusia Salai dan Terancam Musnahnya Masyarakat Melayu

Manusia Salai dan Terancam Musnahnya Masyarakat Melayu
Oleh : Setiawan, S.Si

Telah sebulan lebih musibah asap melanda negeri melayu, namun belum juga ada tanda-tanda musbiah ini akan segera berakhir, pasalnya kian hari bukannya semakin berkurang asap namun justru bertambah semakin pekat. Masyarakat Riau dalam hal ini hanya bisa merasakan akibat dari pencemaran udara yang menurut monitoring Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sudah pada level berbahaya.

Korban pun mulai berjatuhan, mulai dari anak-anak sampai pada lansia. Data yang dirilis oleh Dinas Kesehatan Provinsi Riau menunjukkan bahwa korban akibat asap saat ini sudah mencapai 37 ribu jiwa, bukan tidak mungkin jika musibah ini terus berlanjut maka masyarakat Riau seluruhnya bisa menjadi penderita penyakit infeksi saluran pernapasan.

Pertanyaannya adalah, sampai kapan masyarakat Riau akan menunggu hingga musibah ini berakhir. Dimana keseriusan pemerintah daerah dalam mengupayakan penanggulangan bencana asap dalam rangka melindungi masyarakatnya, dimana pula peran Negara melindungi rakyatnya.

Pemprov Riau dalam hal ini seharusnya ambil langkah cepat mengatasi bencana asap yang sudah berada pada ambang berbahaya, bukan malah berwacana dan memperdebatkan siapa yang harus bertanggung jawab, apa iya harus menunggu korban berjatuhan lebih banyak lagi.

Terlepas dari siapa yang berbuat terhadap pembakaran lahan di wilayah Riau, Pemprov adalah institusi yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi ini. Jangan hanya diwaktu musibah terjadi baru semua seperti kebakaran jenggot, semua saling menyalahkan, tidak ada satupun yang merasa bertanggung jawab terhadap masalah yang hampir setiap tahunnya terjadi secara berulang-ulang.

Sekali lagi bencana asap tidak bisa dianggap remeh, masyarakat Riau kedepan adalah masyarakat yang terancam berbagai penyakit. bayangkan saja, apabila secara terus-menerus becana asap ini juga belum berakhir maka dampak negatif dari kategori asap yang sudah dianggap berbahaya adalah sebagai berikut :

1. Kabut asap dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan mungki juga infeksi.

2. Kabut asap dapat memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronik, PPOK dll.

3. Kemampuan kerja paru menjadi berkurang dan menyebabkan orang mudah lelah dan mengalami kesulitan bernapas.

4. Mereka yang berusia lanjut dan anak-anak (juga mereka yang punya penyakir kronik) dengan daya tahan tubuh rendah akan lebih rentan untuk mendapat gangguan kesehatan.

5. Kemampuan paru dan saluran pernapasan mengatasi infeksi berkurang , sehingga menyebabkan lebih mudah terjadi infeksi.

6.  Secara umum maka berbagai penyakit kronik juga dapat memburuk.

7. Bahan polutan di asap kebakaran hutan yang jatuh ke permukaan bumi juga mungkin dapat menjadi sumber polutan di sarana air bersih dan makanan yang tidak terlindungi.

8. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) jadi lebih mudah terjadi, utamanya karena ketidak seimbangan daya tahan tubuh (host), pola bakteri/virus dll penyebab penyakit (agent) dan buruknya lingkungan (environment).

Dari sekian banyak bahaya yang mengancam masyarakat Riau, sungguh tak pantas kiranya ada pembiaran dari pihak manapun dengan alasan apapun. Sungguh jika bencana ini terus berlanjut maka masyarakat Riau akan menjadi zombie-zombi manusia asap (salai) dan musnah. Wallauhua’lam.

Jumat, 28 Februari 2014

Sejarah Riau Memeluk Pangkuan NKRI

Pekanbaru, Sejarah Riau bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia melalui liku-liku yang sangat panjang. Bermula dari kerajaan Siak Sri Indrapura yang didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.

Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.

Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.

Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara Tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).

Sultan As-Sayyidi Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin II atau Sultan Syarif Kasim II (lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Dia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim.

Riau di bawah Kesultanan Siak pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Kasim Sani (Sani=dua). Ketika Jepang kalah, ikatan Hindia Belanda lepas, Sultan Syarif Kashim menghadapi 3 pilihan: berdiri sendiri seperti dulu?, bergabung dengan Belanda? atau bergabung dengan Republik? Sultan sebagai sosok yg wara' dan keramat melakukan istikharah. Banyak kalangan menilai SSK lebih condong memilih untuk bergabung dengan Republik Indonesia karena kekayaan Riau yang sangat berlimpah dan berlebihan kalau sekedar dikuasai sendiri. Maka Sultan menentukan pilihan bergabung dengan Republik. Mendukung NKRI. BERGABUNG, bukan menyerahkan diri.

Sultan menurunkan modal 13 juta Golden (3x nilai kompleks gedung Sate, Bandung), bersama-sama dengan para komisaris lainnya di PT. NKRI (Deli, Asahan Siak, Yogya, Solo, Kutai Kartanegara, Pontianak, Ternate, Tidore, Bali, Sumbawa-daerah-daerah yang termasuk Zelfbestuuren-berpemerintahan sendiri pada jaman pendudukan Belanda di Nusantara).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden.

Sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968.

Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu.
Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.

Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999.

Sumber : riau24.com

Menelisik Asal Usul Kata RIAU

Pekanbaru, Banyak Versi yang mengatakan tentang asal usul penyebutan nama Riau. Namun literatur tertulis yang ada saat ini masih belum memuaskan. Beberapa pendapat tentang asal usul nama Riau diantaranya dibukukan oleh Hasan Junus. Menurut Hasan setidaknya ada tiga kemungkinan asal usul penyebutan nama Riau. Pertama, toponomi riau berasal dari penamaan orang Portugis rio yang berarti sungai. Kedua, tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Alfu Laila Wa Laila menyebut "riahi" untuk suatu tempat di Pulau Bintan, seperti yang pernah dikemukakan oleh almarhum Oemar Amin Hoesin dalam pidatonya ketika terbentuknya Provinsi Riau. Ketiga, diambil dari kata rioh atau riuh yang berarti hiruk-pikuk, ramai orang bekerja. Dari ketiga kemungkinan di atas, kata rioh atau riuh merupakan hal yang paling sangat mendasar penyebutan nama Riau. Masyarakat umum pun lebih meyakini dari nama itulah disebut Riau Nama Riau yang berpangkal dari ucapan rakyat setempat, konon berasal dari suatu peristiwa ketika didirikannya negeri baru di sungai Carang untuk jadikan pusat kerajaan. Hulu sungai itulah yang kemudian bernama Ulu Riau. Adapun peristiwa itu kira-kira seperti teks seperti di bawah ini. Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke Makam Tauhid (ibukota Kerajaan Johor) diperintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan (suatu tempat sedang didirikan negeri baru) di muara sungai itu mereka kehilangan amh. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, "di mana tempat orang-orang raja mendirikan negeri?" mendapat jawaban, "di sana di tempat yang rioh," sambil mengisyaratkan ke hulu sungai. Menjelang sampai ke tempat yang dimaksud, jika ditanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab, "mau ke rioh". Pembukaan negeri Riau yang sebelumnya bernama sungai Carang itu pada 27 September 1673, diperintahkan oleh Sultan Johor Abdul Jalil Syah III (1623-1677) kepada Laksamana Abdul Jamil. Setelah Riau menjadi negeri, maka Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, merupakan sultan Riau pertama yang dinobatkan pada 4 Oktober 1722. Setelahnya, nama Riau dipakai untuk menunjukkan satu di antara 4 daerah utama kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Setelah Perjanjian London 1824 yang membelah dua kerajaan tersebut menjadi dua bagian, maka nama Riau digabungkan dengan Lingga, sehingga terkenal pula sebutan Kerajaan Riau-Lingga. Pada zaman pemerintahan Belanda dan Jepang, nama ini dipergunkan untuk daerah kepulauan Riau ditambah dengan pesisir Timur Sumatera. Pada zaman kemerdekaan, Riau merupakan sebuah kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Tengah. Setelah Provinsi Riau terbentuk pada pada tahun 1958, maka nama itu di samping dipergunakan untuk nama sebuah kabupaten, dipergunakan pula untuk nama sebuah provinsi seperti saat ini. Sejak tahun 2002 Riau terpecah menjadi dua wilayah, yaitu Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah yang menjadi Provinsi Riau saat ini berasal dari beberapa wilayah kerajaan Melayu sebelumnya yakni Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Inderagiri (1658-1838), dan Kerajaan Siak (1723-1858) dan sebagian dari Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913). 

Sumber : riau24.com